BAB I
PERNIKAHAN
Pernikahan adalah kodrat manusia untuk hidup berpasang-pasangan dalam kedidupan umat manusia.
Islam hanya mengakui pernikahan sebagai satu-satunya bentuk berpasangan yang benar. Dengan demikian mudah dimengerti apabila ajaran Islam mendorong pemeluknya yang sudah baliq dan mampu secara ekonomi untuk segera melangsungkan pernikahan.
Oleh karena dengan menikah manusia dapat memelihara statusnya sebagai makhluk yang mulia dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya, juga pernikahan merupakan cara terbaik untuk kelangsungan dan pengembangbiakan manusia itu sendiri.
Sesuai dengan firman yang berbunyi :
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan menjadikan istri dari padanya dan dari padanya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan pria dan wanita yang banyak (Q.S An-Nisa 4 : 1).
Islam telah menggariskan ketentuan-ketentuan yang sangat universal dan menguntungkan kedua belah pihak yaitu :
A. Muhrim
Wanita-wanita yang tidak halal kita nikahi (muhrim) adalah :
1. Ibu, Ibunya ibu dari ibu Bapak sampai garis keturunan ke atas dan seterusnya
2. Anak, cucu dan keturunan ke bawah seterusnya
3. Saudara wanita se ibu – Bapak atau ibu/ sebapak saja
4. Saudara wanita dari Bapak
5. Saudara wanita dari ibu
6. Anak wanita dari saudara wanita dan seterusnya
7. Anak wanita dari saudara laki-laki dan seterusnya
8. Ibu yang menyusui sekalipun bukan ibu kandung
9. Saudara wanita satu susu
10. Ibu dari istri (ibu mertua)
11. Anak tiri, apabila sudah pernah mengganti ibunya
12. Istri dari anak (menantu)
13. Istri dari Bapak
14. Saudara wanita dari Istri
B. Meminang
Adalah pernyataan seorang pria yang meminta kesediaan seorang wanita untuk menjadi istrinya.
Caranya : 1. Boleh melalui orang lain yang dipercaya
2. Boleh dengan jalan sendirian jika wanita yang dipinang dalam iddah bain (yakni masa menunggu bagi seorang wanita setelah dijatuhkan talaq tiga/ talak bain oleh suaminya).
Menurut beberapa pendapat pernikahan adalah antara lain :
1. Abu Hanifah
Menurut Abu Hanifah pernikahan adalah aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seseorang wanita yang di lakukan oleh sengaja.
Pengukuhan yang dimaksudkan adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan perbuatan syariah bukan sekedar pengukuhan yang di lakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.
2. Madzhab Maliki
Menurut pendapat Madzhab Maliki pernikahan adalah akad yang dilakukan untuk mendapat kenikmatan dari wanita. Dengan akad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan haram (zina).
3. Madzhab Syafii
Pendapat Syafii adalah akad yang menjamin diperolehnya persetubuhan.
4. Madzhab Hambali
Pendapat Hambali aqad adalah aqad yang didalamnya terdapat lafaz pernikahan secara jelas, bahwa yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah aqad (perjanjian) yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria, penyerahan dan penanggung jawab dalam arti yang luas, telah terjadi pada saat aqad nikah itu disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami istri.
Dari pendapat-pendapat beberapa orang tersebut diatas dapat diambil pengertian bahwa untuk mempererat cinta adalah aqad atau perjanjian sesuai dengan ketetapan syariah.
Adapun agama yang telah mengatur yang demikian, banyak saja terdapat fenomena-fenomena di masyarakt membuat aturan-aturan sendiri. Untuk mencapai kebahagian dalam mencari sebuah makna.
Pada hal kodrat manusia untuk hidup berpasangan pasangan dalam kehidupan manusia dalam beragama Islam. Islam itu sendiri hanya mengakui “Pernikahan” sebagai satu-satunya bentuk berpasangan yang benar, sehingga terpeliharanya kesamaan martabat antara pria dan wanita dan tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.
C. Akad Nikah
Pengertian akad nikah adalah menciptakan (pernikahan) lahir batin seseorang pria dan seseorang wanita sebagai suami istri sesuai dengan syarat dan rukun Islam yang telah ditetapkan.
Tujuannya adalah membangun keluarga bahagia sesuai dengan syari’at Islam.
Hukum menikah, yaitu :
1. Wajib bagi orang yang mempunyai penghasilan cukup dan takut tidak dapat menghindari godaan setan (zina)
2. Sunah bagi orang yang berkeinginan menikah dan sanggup serta cukup untuk menafkahi
3. Haram bagi orang yang berniat menyakiti wanita yang dinikahinya
4. Makruh bagi orang yang belum sanggup memberikan nafkah dan belum mempunyai keinginan menikah
5. Jaiz yakni diperolehkan (ii asal hukumnya)
Hukum nikah ada 3 (tiga), yakni :
1. Aqad yaitu perkataan wali pihak wanita kepada pengantin pria dan pengantin pria.
2. Tidak sah aqad nikah selain dengan lafaz nikah atau tazwij atau terjemahannya keduanya.
3. Wali (dari pihak wanita)
Barang siapa diantara wanita menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal (HR. empat ahli hadist, kecuali Nasai). Yang dianggap sah menjadi wali dari pihak wanita, adalah :
a. Bapaknya
b. Kakeknya (Bapak dari bapak)
c. Saudara pria seibu sebapak
d. Saudara pria sebapak saja
e. Anak pria dari saudara pria seibu sebapak
f. Anak pria dari saudara pria sebapak saja
g. Saudara pria bapak (paman dari bapak)
h. Anak pria paman dari pihak bapak
i. Hakim
Syarat-syarat menjadi wali adalah :
a. Islam
b. Pria
c. Sudah baliq
d. Berakal sehat
e. Merdeka dari adil
D. Mahar (Mas kawin)
Mahar (Mas kawin) adalah suatu pemberian dai seorang pria kepada seorang wanita yang dinikahinya. Jumlah mas kawin tergantung kemampuan calon suami dan atas persetujuan calon istri. Namun hendaknya tidak berlebihan.
E. Walimah (Pesta/ Kenduri)
Walimah adalah pesta pernikahan sebagai ungkapan syukur atas nikmat Allah SWT. Walimah hukumnya sunat muakkat yaitu pelaksanaan hendaklah sebatas kemampuan.
Kewajiban suami terhadap istri secara garis besarnya adalah :
1. Memberi nafkah lahir dan bathin
2. Bersikaplah kepada istri seperti yang ia inginkan selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam
3. Suami berkewajiban mengajar dan mendidik istri
4. Bergaulah dengan mereka secara patut dan baik
5. Jangan bertindak sewenang-wenang
6. Berdandanlah untuk menyenangkan hati istri
7. Membantu pekerjaan sehari-hari istri seperti yang di contohkan Rasulullah SAW.
Kewajiban istri terhadap suami antara lain :
1. Taat dan patuh kepada suami
2. Menjaga harta suami
3. Mengatur urusan rumah tangga
F. Poligami
Sesunggunya poligami suadah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Poligami itu sendiri tidak hanya ada dalam masyarakat Arab (Timur Tengah), tetapi juga terjadi di masyarakat Barat, bahkan di masyarakat Timur Jauh termasuk di Indonesia yang terutama dilakuian oleh raja-raja zaman dahulu. Mereka pada umumnya mempunyai belasan istri. Sedangkan Islam, mengizinkan orang berpoligami maksimal dengan empat orang istri. Dengan demikian, berarti Islam tidak menganjurkan kaum pria berpoligami melainkan membatasi kaum pria dalam berpoligami.
Mengapa ajaran Islam membolehkan kaum pria berpoligami ? Jawaban untuk pertanyaan ini sesungguhnya cukup banyak dalam kehidupan sehari-hari, antara lain :
1. Ada seorang istri yang sakit-sakitan sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya memnuhi kebutuhan biologis suami. Menghadapi masalah seperti inilah, Islam membeikan jalan pemecahan terbaik dan rasional, yakni mengizinkan suami berpoligami agar kebutuhan biologisnya tersalurkan dengan baik, dan tidak sampai jatuh dalam perzinaan.
2. Ada seorang istri yang mandul, sehingga mustahil dapat memberikan keturunan kepada suaminya. Padahal, bukankah tujuan pernikahan antara lain untuk mengembangbiakkan keturunan ? Dalam kasus semacam ini suami diperkenankan berpoligami.
Dalam membolehkan pemeluknya berpoligami, Islam menetapkan satu syarat yang tidak bisa ditawar, yakni suami harus berbuat adil terhadap istri-istrinya.
Firman Allah SWT :
“Nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi ; dua, tida atau empat. Apabila jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, mala kawinilah seorang saka”. (QS. An-Nisa’ : 3).
Pengertian adil disini, meliputi pangan, sandang, papan, waktu bergilir dan kelembutan bergaul serta perlindungan. Sedangkan keadilan dalam keadilan soal cinta dan kasih sayang tidak dituntut, karena manusia tidak akan mampu melakukannya.
Apabila suami dapat berbuat adil, kelak pada hari kiamat ia akan memperoleh tempat terhormat. Sabda Rasulullah SAW.
“Pada hari kiamat, orang yang berbuat adil ditempatkan disisi Allah SWT di atas mimbar dari cahaya di sebelah kanan-Nya ; yaitu orang-orang yang adil dalam hukum, adil terhadap istri-istri dan keluarganya, serta adil terhadap apa yang dipimpinnya, atau menjadi tanggung jawabnya”. (HR. Muslim).
Jika suami tidak dapat berlaku adil, maka ancaman hukumnya pun sangat berat. Sabda Rasulullah SAW :
“Barang siapa mempunyai dua istri, tetapi dia tidak bisa berbuat adil di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan separuh badannya hilang”. (HR. Turmuzi).
G. Thalaq (Cerai)
Thalaq yang lebih dikenal dengan cerai, adalah melepaskan ikatan perkawinan. Hal ini diperbolehkan dalam ajaran Islam dengan pertimbangan : apabila di antara suami – istri sudah tidak ada kecocokan/ kesepakatan untuk mempertahankan perkawinan karena berbagai alasan, dan karena dipandang dapat membawa kebaikan pada keduanya. Sebab, jika sudah tidak ada lagi kecocokan dan kasih sayang di antara suami istri, dipaksa untuk mempertahankan perkawinan, sama dengan memenjarakan mereka dalam penderitaan.
Sekalipun cerai boleh dalam Islam, namun bukan merupakan suatu jalan yang terpuji. Dari Ibnu Umar, telah bersabda Rasulullah SAW :
“Barang halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT adalah perceraian”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Ditinjau dari segi kebaikan dan keburukannya, hukum cerai ada empat, yaitu :
1. Wajib, jika perselisihan suami isitri oleh Hakim yang menanganinya dipandang tidak mungkin di damaikan lagi.
2. Sunnat, jika suami tidak mampu menafkahi istri atau si istri tidak dapat menjaga kehormatannya. Seorang pria mengadu kepada Rasulullah SAW :
“Istriku tidak menolak uluran tangan orang (pria lain) yang menyentuhnya. Rasulullah SAW menjawab “Hendaklah engkau ceraikan saja wanita itu”. (Al Hadist).
3. Haram, jika menjatuhkan thalaq saat istri sedang haid atau sewaktu suci dan telah dicampuri waktu suci itu.
4. Makruh, yakni hukum asal thalaq.
Kalimat untuk menjatuhkan thalaq ada dua macam, yakni :
1) Sharih (terang-terangan), yakni kalimat cerai yang diucapkan secara terbuka, tanpa kiasan. Misalnya “Saya ceraikan kamu”.
2) Kinayah (Sindiran), kalimat cerai yang diucapkan secara samar. Misalnya, “Pulanglag ke rumah keluargamu”. Atau “Pergilah dari sini”.
Perbedaan kalimat itu, adalah kalimat sharih (terang-terangan) walau diucapkan tanpa niat menceraikan, berarti sudah jatuh thalaq. Dengan demikian tidak boleh bercampur lagi. Sedangkan kalimat kinayah (sindiran) jika tidak disertai niat menceraikan, berarti belum jatuh thalaq.
Jumlah thalaq hanya tiap kali. Pengertiannya, setelah thalaq pertama dan kedua, suami istri masih boleh rujuk/ kembali sebelum habis masa iddahnya, dan boleh nikah kembali setelah masa iddah.
Firman Allah SWT :
“Thalaq itu dua kali, setelah itu suami diberi kelonggaran untuk rujuk (kembali) dengan baik, atau (kalau tidak ingin kembali) hendaklah dilepaskan dengan baik”. (QS. Al-Baqarah : 229).
Setelah thalaq tiga, boleh kembali dengan catatan si wanita telah nikah dengan orang lain dan setelah cerai dengan suami keduanya itu.
Firman Allah SWT :
“Maka jika diceraikannya (oleh suami kedua) tidak berhalangan bagi suami pertama kembali pada bekas istrinya itu jika keduanya ada sangkaan baik untuk menjalankan anturan Allah SWT”. (QS. Al-Baqarah : 230).
H. Iddah
Masa menanti bagi seorang wanita yang ditinggalkan suaminya karena cerai atau suaminya meninggal dunia disebut iddah. Gunanya untuk mengetahui, apakah kandungan wanita itu berisi atau tidak. Sebab, wanita yang ditinggal suaminya adakalanya sedang hamil. Dan bagi wanita yang hamil, masa iddahnya sampai melahirkan.
Firman Allah SWT :
“Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai melahirkan anaknya. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah SWT niscaya dimudahkan urusannya”. (QS. At – Thalaq : 4).
1. Cerai mati, maksudnya karena suaminya meninggal dunia, iddahnya 4 bulan 10 hari. Diterangkan dalam Al-Baqarah (2) : 234, “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu, sedang mereka meninggalkan istri (janda), hendaklah istri-istri beriddah (menanti tidak kawin) selama 4 bulan 10 hari. Kemudian jika habis masa iddahnya, tidak dosa bagimu (walinya) membiarkan mereka berbuat sesukanya menurut yang patut. Allah SWT mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Dari ayat 4 surat At-Thalaq, dan ayat 234 surat Al-Baqarah, ada perselisihan pendapat tentang ; andai wanita yang cerai mati, dan hamil kemudian melahirkan anaknya sebelum 4 bulan 10 hari, apakah telah berakhir masa iddahnya ? Menurut jumhur salaf, iddahnya yaitu anak walaupun belum sampai 4 bulan 10 hari. Sedangkan pendapat yang diriwayatkan oleh Ali, iddah harus mengambil yang lebih panjang. Maksudnya jika anak itu lahir sebelum 4 bulan 10 hari, maka iddahnya tetap selama 4 bulan 10 hari.
Pendapat Syafi’I, iddah lahirnya anak itu, apabila anak tersebut dari suami yang menceraikan, katakanlah dari hasil zina, maka perempuan itu tidak beriddah dengan lahirnya anak. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat, perempuan itu beriddah dengan lahirnya anaknya, baik anak itu dari benih suami yang menceraikannya atau dari anak zina.
2. Cerai hidup, iddahnya tiga kali suci. Firman Allah SWT :
”Wanita-wanita yang dithalaq hendaknya menahan diri (menunggu untuk tidak menikah) selama tiga kali suci”. (QS. Al-Baqarah : 228).
Apabila wanita itu tidak mempunyai haidh (kotoran), iddahnya 3 bulan. Firman Allah SWT :
“Wanita-wanita yang tidak haidh lagi di antara wanita-wanita kamu, jika kamu ragu maa iddahnya 3 bulan, begitu juga bagi wanita-wanita yang belum haidh dari kecilnya”. (QS. At-Thalaq : 4).
Dan istri yang diceraikan suaminya sebelum sempat digauli, tidak ada iddah. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikah wanita yang beriman kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu gauli, maka tidak wajib bagi mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Berilah mereka mut’ah (sesuatu yang menyenangkan hatinya) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”. (QS. Al-Ahzab : 49).
Dalam masa iddah, wanita memiliki hak dengan ketentuan :
1. Wanita yang taat dalam iddah rajiyah berhal menerima tempat tinggal, pakaian dan nafkah dari bekas suaminya, kecuali istri yang durhaka. Dari Fatimah Binti Qois telah berkata Rasulullah SAW. “Wanita yang berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman dari bekas suaminya, jika bekas suaminya itu berhak rujuk kepadanya”. (HR. Ahmad dan Nasai).
2. Wanita dalam iddah bain, jika mengandung berhak juga mengambil rumah kediaman. Firman Allah SWT :
“Dan jika mereka (istri-istri yang berthalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusui anakmu berikanlah upahnya dan musyawarahkanlah (segala sesuatu) di antara kamu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS. At-Thalaq : 6).
3. Wanita dalam iddah bain, tidak hamil baik thalaq tebusan maupun thalaq tiga, menurut sebagain ulama tidak berhak mendapat nafkah maupun tempat tinggal. Dari Fatimah Binti Qois, dari Nabi SAW perihal wanita yang dithalaqkan tiga, kata Rasulullah SAW. “Dia tidak berhak (memperoleh) tempat tinggal, juga tidak nafkah”. (HR. Ahmad dan Muslim).
4. Wanita dalam iddah wafat (cerai karena suami meninggal dunia), tidak memiliki hak sama sekali meskipun mengandung, karena ia dan anak yang dikandungnya telah mendapat hak pusaka/ warisan dari suaminya yang meninggal itu. Sabda Rasulullah SAW : ”Janda hamil yang ditinggal mati suaminya, tidak berhal mengambil nafkah”. (HR. Daruqutni).
I. Ruju’
Pengertian ruju’ yaitu menikah kembali wanita yang sudah diceraikan. Hukumnya ada lima :
1. Wajib, bagi suami yang menceraikan salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang dithalaq.
2. Haram, jika ruju’ itu untuk menyakiti hati istri
3. Makruh, apabila cerai lebih baik dan bermanfaat bagi keduanya
4. Jaiz (boleh) merupakan hukum ruju’ yang asli
5. Sunnah, jika suami bermaksud memperbaiki keadaan istri. Atau ruju’ itu lebih bermanfaat bagi keduanya.
Rukun ruju’ ada empat :
1. Syarat untuk istri
a) Sebelum thalaq pernah digauli, sebab istri yang belum digauli jika dithalaq tidak memiliki masa iddah
b) Istri yang diruju’ harus ditentukan, apabila si suami telah menthalaq beberapa istrinya.
c) Bukan dithalaq tebus atau thalaq tiga
d) Sewaktu istri masih dalam iddah
2. Atas kehendak suami sendiri, bukan karena dipaksa
3. Saksi. Mengenai hal ini sebagian ulama mengatakan, wajib. Sebagian ulama lain mengatakan sunnah. Firman Allah SWT :
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka ruju’kilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu. Serta hendaklah kamu tegakkan kesaksian it karena Allah SWT”. (QS. At-Thalaq : 2).
4. Shighat (Lafaz ruju’)
a) Berterus terang. Misalnya : “Aku ingin menikahimu kembali”.
b) Sindiran. Misalnya : “Saya pegang engkau”.
Ruju’ dianggap tidak sah apabila kalimatnya digantungkan. Misalnya : “Saya kembali kepadamu jika engkau suka”, atau “Apabila memungkinkan saya kembali kepadamu”.
Minggu, 28 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar