Minggu, 28 Desember 2008

TEORI PEMBENARAN HUKUM NEGARA

TEORI PEMBENARAN HUKUM NEGARA


A. Pengertian
Teori pembenaran hukum negara atau teori penghalalan tindakan penguasa atau Rechtsvaardiging teorieen membahas bagaimana hal-hal mendasar yagn dijadikan alasan-alasan sehingga tindakan penguasa/ negara dapat dibenarkan, karena secara nyata negara itu memiliki kekuasaan. Pemabahasan tentang teori pembenaran hukum negara, sebenarnya sudah banyak dibahas oleh para sarja. Secara rill bahasan itu tidak terlepas dari berbagai kondisi negara yang berhasil digambarkan. Di bawah ini akan membahas berbagai pespektif yagn dimaksudkan tentang pembenaran hukum negara.

B. Pembenaran Negara dari Perspektif Ke Tuhanan (TheoCratische Theorieen)
Dalam perspektif , tindakan penguasa negara itu selalu dianggap benar karena mendapat ligitimasi dari Tuhan. Tuhan menciptakan negara ada secara langsung dan ada tidak secara langsung. Ciri Tuhan menciptakan negara secar alangsung yaitu penguasa itu berkuasa karena menerima wahyu dari Tuhan, sedangkan ciri Tuhan menciptakan negara tidak secara langsung yaitu penguasa itu berkuasa karen akodrat Tuhan (Azhary, 1983:15)
Paham yang mengganggap kekuasaan engara itu bersal dari Tuhan dapat dilihat dair ungkapan Agruttinus dalam bukunya “De Civitate Dei” menerangkan tentang dua macam negara yaitu negara Tuhan yagn dipimpin langusung oleh Tuhan dan engara duniawi yang menruut pendappatnya dalah buatan setan. Manusia itu sifatnya jasmaniah dan roohaniah. Karena itu maka kehidupa manusia pun rangkap dua pula. Kehidupan jasmaniah yang fana yang berkilbat pada ddiri manusia, dan kehidupan rohaniah yag baka, berkiblat pada Tuhan Yang Mha Esa. Kehidupan jjasmanah yagn fana mencari kepuasan duniawi untuk diri sendiri. Kehidupan rohaniah yang baka mencari kepuasan hakiki yang baka abadi. Dengan adanya dua macam kehidupan ini maka dari manusia telah terjadi dua macam masyarakat, dua negara yang berasal dari dua orang anak Adam, Kain dan Abel.
Dari Kain yang durhaka terjadi masyarakat duniawi, negara duniawi (civitas terrand) yagn menampung soal-soal duniawi, yang tidak kekal. Dari Abel yang saleh telah terjadi masyarakat Tuhan, Negara Tuhan (civitas Dei) yang dipimpin oleh Tuhan sendiri dan menampung hal-hal kesolehanian yang kekal abadi. Negara dunia disebut juga civitas diaboli (negara setan) karena menurut Augustinus negara ini adalah buatan setan.
Di dunia sekarang ini kedua negara itu, negara duniawi dan negara Tuhan masih campur dan baru pada penghabisan akan dipisahkan. Karena hanya mengjar keduniaan makaa negara dunia itu, betapun besar dan megahnya, akan membawa keserakahan, perkosaan, peperangan, kebencian, kekacauan, penderitaan akhirnya keruntuhan, hanya negara Tuhan akan berlangsung kekal dan abadi, hanya disini manusia dapat beroleh perdamaian dan kebahagian sejati. Negara Tuhan di dunia ini diwakili oleh gereja dan atau oleh kerajaan-kerajaan lain yang tunduk pada pimpinan gereja yang berarti mengikuti pimpinan Tuhan begitu menurut Augustinus. Oleh Thomas Aquinas teori itu telah mendapat bentuk lain. Menurut pendapatnya negara itu bukan keburukan buatan setan, melainkan diakui juga sebagai perujudan dari kekuasan dan kehendak Tuhan. Negara timbul dari pergaulan antara manusia yang ditertibkan oleh hukum dan tata alam. Tetapi hukum tata alam ini pun terjadi dari kehendak Tuhan dan menurut hukum Tuhan.
Tuhan telah menjadikan manusia sebagai makhluk pergaulan, maka iapun memberikan pimpinan bagi pergaunan manusia ini, ialah raja. Untuk menjalankan kewajibannya yang luhur itu raja juga memperoleh pimpinan dari Tuhan. Dengan demikian maka kekuasaan negara itu pada hakekatnya adalah juga kekuasaan Tuhan.
Menurut Ludwig von Hailer sifatnya negara ialah ketertiban yang meliputi tuan dan hamba, kuat dan lemah, tinggi dan rendah, kaya dan miskin. Yang kuat berkuasa memerintah yang lemah, itulah kodrat alam, itulah juga dikehendaki dan diatur oleh Tuhan. Manusia dengna segala kecerdasarnnya tidak mungkin dapat mengubah keadaan yang telah ditentukan oleh kodran illahi ini. Dari kuasa dan kehendak Tuhanlah asal segala kekuasaan dan asal berdirinya negara.

C. Pembenaran Negara dari Perspektif Kekuatan
Siapa yang berkemampuan memiliki kekuatan maka mereka akan mendapat kekuasaan dan memegang tampuk pemerintahan. Kekuatan itu meliputi kekuatan jasmani (physic), kekuatan rohani (psychis), atau kekuatan materi (kebendaan), maupuan kekuatan politik. Dalam teori evolusi, Charles Darwin dikatakan bahwa kehidupan semesta alam ini diliputi oleh serba perjuangan untuk mempertahankan hidup masing-masing. Yang kuat akan menindas yang lemah, maka semuanya berusaha untuk menadi kuat dan unggul dalam perjuangan. Setiap perjuangan harus senantiasa berusaha menambah kekuatan dan kemampuannya agar tetap berkuasa. Dalam keadaan itulah terjadi evolusi, terjadi proses perubahan dan pertumbuhan yang terus menerus yang dibawakan oleh penyesuaian diri pad akondisi perjuangan hidup. Semua imperium ditegakkan dengnadasr kekuasaan ini. Seperti, pemerintahan diktator Napoleon (1769-1821), Hider (1889-1945); Mussolini (1883-1945); Lenin (1870-1924); Stalin (1879-1953) dipancangkan dengan kekuasaan ini.
Menurut Duguit, yang dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak lainialah mereka yang paling kuat. (lesplus forts), kekuatan mana di dalamnya karena beberapa faktor, misalnya keistimewaan fisik, intelegensia, ekonomi dan agama, senada dengan Dugit dalam “Traite de Dreit Constitutionel” tersebut ialah Von Acring dalam “Der Zweck im Rcebt” Laband dalam “Mas Staatsrecht des Deutschen Reich” serta Jellinek pada karyanya “Allgeine Staatslehre”. Mereka mengemukakan, harus diterimakenyataan yang wajar, bahwa kekuasaan dan kedaulan adalah sepenuhnya di tangan negara dan pemerintahan, tetapi tidak dijelaskan bagaimana lahirnya dan apa sebab demikian.
Tokoh lain yang menyatakan bahwa negara itu timbul dari penyerbuan dan penaklukan adalah Franz Oppenheimer seperti dikemukakannya dalam buku “DerStaat”. Menurutnya negara adalah suatu susunan masyarakat yang oleh golongan, yang menang dipaksaan kepada golongna yang ditaklukan, dengna maksud untuk mengatur kekuasaan golongan yang satu atas golongan yang lain dan melindungi terhadap ancaman pihak lain. Tujuan dari semuanya ini adalah pemerasan ekonomi dari golongan yang menang terhadap golongan yang kalah (Raindlon Naning, 1982:9).

D. Pembenaran Negara dari Perspektif Hukum
Perspektif hukum meyakini tindakan pemerintah itu dibenarkan karena didasarkan kepada hukum. Hukum diartikan dalam hukum kekeluargaan (Patriarchal), hukum kebendaan (patrimonial) dan hukum perjanjian.
Hukum kekeluargaan (patriarchal) digambarkan dahulum masyarakat masih sangat sederhana dan pada waktu negara itu belum ada, masyarakat itu hidup dalam kesatuan-kesatuan keluarga besar yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga. Tentunya yang diangkat sebagai kepala keluarga, adalah orang yang kuat, yang berjasa, dan bijaksana dalam sikap bagi kelaurganya. Dalam bahasa asingnya seorang kepala keluarga itu merupakan…….interparis artinya seorang yang pertama diantara yang sama, karena sifat-sifatnya yang lebiht itu, aka ia menjari orang yang dipuja-puja.
Kejadian-kejadian dalam masayrakat selanjutnya yagn menjadikan masyarakat menjadi lebih besar dari pada kesatuan-kesatuan keluarga tersebut, disebabkan karena penakluakan yang dilakukan oleh kepala keluarga terhadap keluarga yang lainnya. Keadan semacam ini tidak hanya menyebabkan keluarga itu menjadi lebih besar daripada semula akan tetapi kedudukan kepala keluarga itu sendiri menjadi kuat dan disebut sebagai raja yang berkuasa. Jika kemudian raja meninggal dunia, maka raja yang menggantikannya akan mewarisi semua kekuasaan yang ada pada raja yang pertama. Selanjutnya kekuatan itu akan diritunkan/ diwarikan kepada raja-raja kemudian yang menggantikannya dan teori patriarchal inilah yang hendak membenarkan hukum keluarga yang berpangkal pada raja yang pertama untuk menjadi kepala keluarga. Maka sesudah itu menyusul teori yang kedua Patrimonial.
Dari pemberiannya itu kepada para bangsawan maka berpindah semua hak atas tanah itu kepad apara bangsawan, sehingga para bangsawan mendapatkan hak untuk memerintah (overheidsrechten) terhadap semua yang ada diatas tanah itu. Di Indonesia keadaan-keadaan.

1. Diktator militer
Seorang/ segolongan perwira memerintah tanpa memberi pertanggungjawaban kepada rakyat, sering caranya ke pemerintahand engan mengadakan kudeta. Kadang-kadang suatu dictator militer perlu untuk sementara waktu, yaitu untuk memulihkan keadaan kacau balai yang tidak dapat dikuasai oleh kekuasaan sipil yang kurang mampu atau tidak mendapat dukungan yang memadai.

2. Pemerintahan dikatatur proletar
Menurut teori komunis, untuk mencapai masyarkat tanpa kelas, proses harus melalui dicator proletar. Dalam fase ini kaum proletar merebut kekuasaan politis untuk menumbangkan semua kelas lawannya dengan kekerasan. Begitu juga hukum, agama, kebudayan dan system ekonomi melawannya tidak diberi hidup lagi. Kaum proletar dipimpin oleh partai komunis. Menurut teorinya semua ini dijalankan atas nama kaum proletar, bahkan negara-negara komunias menamakan dirinya “demokrasi rakyat” akan tetapi dalam kenyataanya, rakyat tidak diberik hak bersuara sams ekali, karena hanya biro sentral partai komunislah yang memegang kekuasaan mutlak dengan terrror dan intimidasi untuk menguatkan kedudukan sekelompok kecil kdader komunis. Sampai sekrang “masyarkat tanpakelas” tinggal impian belaka, sehingga dictator partai dipertahankan terus.

3. Dalam diktator totaliter
Kepentingan dan kebebasan individu sama sekali tidak diperhatikan, terror meraja lela.
Semacam ini dapat kita lihat pada tanah-tanah partikelir. Tanah-tanah parkelir ini terjadinya dulu waktu Daendles. Daendles menjual tanah kepada, orang-orang partikelir dengan maksud mendapatkan uang untuk membiayai angkatan perangnya.
Jadi semua persoalannya dengan keadaan pada zaman abad pertengahan di Eropa, maka di Indoneisa pemerintah VOC menjual belikan tanah Indonesia kepada orang-orang menimbulkan adanya tuan-tuan tanah. Tuna-tuan tanah itu juga mempunyai hak untuk memerintahkan overheidsrecten terhadap kedudukannya yang diatasnya tanahnya, yang berupa hak-hak biasa hak-hak biasa tersebut terdiri dari ; Hak untuk mengangkat kepala desa ; Hal untuk memunguy pajak ; Hak untuk mengerahkan tenaga rakyat, misalnya membuat jembatan, jalan-jalan dan sebagainya.
Menurut Thomas Hobbes manusia selalu hidup dalam kekuatan karena takut akan diserang oleh manusia lainnya yang lebih kuat keadaan jasmaninya. Karena itu lalu diadakan perjanjian masyarakat dan dalam perjanjian raja tidak diikut sertakan. Jadi perjanjian itu diadakan antara rakyat dengan rakyat sendiri. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian masyarakat di dalam sejarah tidak pernah ada. Tetapi Hobbes membuat ajaran ini hanya sebagai konstruksi dalam pikiran saja untuk menghalalkan kekuasaan raja.
Setelah diadakan masyarakay dimana individu-individu menyerahkan haknya atau hak-hak azazinya kepada suatu kolektivitas yaitu suatu kesatuan individu-individu yang diperolehnya melalui pactum uniones, dimana kolektivitas menyerahkan hak-haknya atau kekuasaannya kepada raja dalam pactum subjektiones tanpa syarat apapun juga. Raja sama sekali ada diluar perjanjian, dan oleh karenanya raja mempunyai kekuasaan yang mutlak setelah hak-hak rakyat diserahkan kepadanya (Monarchie Absolut).
Berbeda dengan Hobbes, menurut Jhon Locke antara raja dengan rakyat diadakan perjanjian dan karena perjanjian itu raja berkuasa untuk melindungi hak-hak rakyat. Kalau raja bertindak sewenang-wenang, rakyat dapat minta pertanggung jawabannya, karena yang primer adalah hak-hak azazi yang dapat dilindungi oleh raja. Akibat dari perjanjian antara rakyat dengan raja maka timbul monarchie constitusional atau monarchic terbatas, karena kekuasaan raja sekarang menjadi terbatas oleh konstitusi. Perlu dijelaskan bahwa di dalam perjanjian masyarakat itu terdapat dua macam, pactum (perjanjian) yang disebut sebagai berikut :
1. Pactum Uniones
Yakni perjanjian untuk membentuk suatu kesatuan (kolektivitas) individu-individu.
2. Pactum Subjektiones
Yaitu perjanjian menyerahkan kekuasaan antara rakyat dengan raja.
Menurut perjanjian masyarakay oleh Hobbes, pactum uniones sama sekali ditelan oleh pactum subjektiones sehingga akibatnya raja berkuasa mutlak. Berbeda dengan faham Hobbes, Jhon Locke berpendapat bahwa pactum uniones dan pactum subjektione sama kuat pengaruhnya, oleh karena itu dalam penyerahan kekuasaan raja harus berjanjia akan melindungi hak-hak azazi rakyat. Ajaran Jhon Locke hampir sama dengan ajaran Monarchemachen yaitu suatu aliran dalam abad pertengahan yang memberi reaksi kekuasaan raja yang mutlak. Aliran ini hendak mengadakan pembatasan kepada kekuasaan raja dengan mengadakan perjanjian. Hasil perjanjian itu diletakkan dalam Leges Fundamentalis yang menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak. Oleh karena itu ajaran Jhon Locke sering disebut sebagai warisan dari Monarchemachen yang memberi jaminan-jaminan kepada hak-hak azazi rakyat.
Sementara itu, Rousseau memandang kebalikan dari pamdangan Hobbes. Menurut Hobbes pactum uniones dan pactum subjktiones sedangkan menurut Rousseau pactum subjektiones yang ditelan oleh pactum uniones. Oleh karena itu akibat daripada ajaran Rousseau adalah kedaulatan rakyat dan kekuasaan rakyat tidak pernah diserahkan pada raja, rakyat kala ada raja yang memerintah raja itu hanya sebagai mandataris daripada rakyat (Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1985 : 58-61).
Menurut Rousseau, perjanjian masyarakat berkaitan dengan usaha menemukan suatu bentuk kesatuan, membela dan melindungi kekuasaan bersama disamping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap orang, sehingga semuanya dapat ersatu, akan tetai masing-masing orang tetap mematuhi dirinya sendiri, sehingga orang tetap merdeka dan bebas seperti sediakala. Pikiran inilah yang menjadi dasar dari semua pendapat-pendapat atau ajaran-ajaran selanjutnya. Dan perlu juga diingat bahwa Rousseau tidak mengenal adanya hak-hak alamiah, atau hak-hak dasar arau hak-hak asasi, hal ini berbeda dengan Jhon Locke. Dengan perjanjian masyarakt itu, berarti tiap-tiap orang melepaskan dan menyerahkan semua haknya kepada kesatuannya yaitu masyarakt. Jadi sebagai akibat diselenggarakannya perjanjian masyarakat ini ialah :
1. Terciptanya kemauan umum atau Volonte Generale
Yaitu kesatuan daripada kemauan orang-orang yang telah menyelenggarakan perjanjian masyarakat tadi, inilah yang merupakan kekuasaan tertinggi, atau kedaulatan.

2. Terbentuknya masyarakat atau Gemeinschaft
Yaitu kesatuan daripada orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian masyarakat tadi. Masyarakat inilah yang memiliki kemauan umum, yaitu suatu kekuasaan tertinggi atau kedaulatan yang tidak dapat dilepaskan. Oleh karena itu kekuasaan yang tertinggi tadi, atau kedaulatan disebut kedaulatan rakyat.
Jadi dengan perjanjian masyarakat telah diciptakan negara, ini berarti telah terjadi suatu peralihan dari keadaan alam bebas kekadan bernegara. Karena peralihan ini naluri manusia telah diganti dengan keadilan dan tindakan-tindakan yang mengandung kesusialaan dan sebagai gantinya telah mendapatkan kemerdekaan yang dibatasi oleh kemauan umum yang dimiliki oleh masyarakat sebagai kekuasaan tertinggi.
Kekuasaan ini tidak boleh ke tangan lain, atau tidak dapat diserahkan baik secara mutlak (seluruhnya), maupun sebagian, jadi kemauan umum atau kedaulatan itu tetap ada pada masyarakat atau keseluruhan daripada rakyat. Tetai bukan rakyat perseorangan, melainkan rakyat yang sudah berganti menjadi suatu kesatuan, yang disebut masyarat. Dalam hal ini Rousseau tidak mempersoalkan sifat daripada kekuasaan itu pada umumnya. Hanya saja ia menanggap bahwa kekuasaan yang ada pada penguasa atau raja itu sebagai suatu kekuasaan yang diwakilkan saja, bukan kekuasaan asli, jadi raja bukanlah pemilik kekuasaan. Rousseau menganggap bahwa raja itu berkuasa (Pemerintah) wakil dari pada rakyat, dan menjalankan kekuasaan itu atas nama rakyat, maka setiap waktu raja dapat diganti atau digeser raja tidak melaksanakan kemauan rakyat atau kematian umum.
Pemerintah adalah suatu badan didalam negara. Akan tetapi ia tidak berdiri sendiri seperti negara, melainkan bersandar kepada sang daulat, yaitu rakyat. Pemerintahan ini juga memunyai kematian sendiri, mempunyai jiwa sendiri, yang disebut volonte de corps. Maka pemerintahan atau penguasa tidak boleh hanya terdiri sari satu orang saja, yaitu raja, melainkan disamping raja ini harus ada sebuah badan yang tugasnya menyalurkan kehendak rakyat. Dengan demikian maka volonte de corps akan lebih mendekati, kalau mungkin sama dengan volonte generale. Apabila pemerintahan itu hanya dipegang oleh satu orang tunggal saja, yaitu raja, maka voolonte de corps akan jatuh bersamaan dengan volonte particuliere, atau dengan kata lain, volonte de corps akan jatuh jauh sekali atau bertentangandengan volonte generale. Disamping itu kita harus membedakan dengan pengertian velonte detous, yaitu kepentingan dari semua orang tetapi orang-orang itu tidaklah merupakan suatu kesatuan. Jadi lain dengan kepentingan umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa volonte de tous ditujukan kepada kepentingan khusus.

Pembenaran Negara dari Perspektif Lain-Lain
1. Teori Ethis/ Teori Etika
Negara itu ada karena suatu keharusan susila, paham ini didukung oleh beberapa pendapat. Menurut Plato dan Aristoteles, amnusia tidak akan ada arti bila manusia itu belum bernegara. Negara merupakan hal yang mutlak, tanpa negara maka tidak ada manusia, dengan demikian segala tindakan Negara dibenarkan (Busroh, 2001 : 42-43). Sedangkan menurut Emanuael Kant, tanpa adanya negara, manusia itu tidak dapat tunduk pada hukum-hukum yang dikeluarkan. Menurut Kant, negara itu adalah ikatan-ikatan manusia yang tunduk pada hukum, akibatnya tindakan negara tadi dibenarkan. Menurut Wolft, keharusan untuk membentuk negara merupakan keharusan moral yang tertinggi. Pendpaat ini sukar diterangkan secara ilmiah karena teorinya berpangkal pada filsafat.

2. Teori Absolut dari Hegel
Menurut Hegel, manusia itu tujuannya untuk kembali pada cita-cita yang absolut dan penjelmaan daripada cita-cita yang absolut dari manusia itu adalah negara. Tindakan dari negara itu dibenarkan karena negara yang dicita-citakan oleh manusia-manusia itu tadi.
3. Teori psychologis
Beranggapan bahwa alasan pembenaran negara itu adalah berdasarkan pada unsur psychologis manusia, misalnya dikarenakan rasa takut, rasa kasih sayang dan lainnya-lainnya, dengan demikian tindakan negara tadi dibenarkan. (Padmo Wahjono, 1977 : 12).

1 komentar:

  1. thanks infonya gan,,ane lagi nyusun book report ilmu negara nih

    BalasHapus